Mengulas Lebih Dalam, Ironi Gugurnya 57 Pejuang Demokrasi

JAKARTA, LINGKAR – Di hari pemungutan suara serentak pada Rabu (14/2), seluruh penyelenggara Pemilu 2024, baik dari unsur Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS), Pengawas TPS (PTPS), dan saksi pasangan calon berjuang melawan kantuk. Mereka berjuang keras menjaga suara rakyat. Meski berat, mereka harus tetap fokus. Memeloti turus demi turus suara rakyat, menghitungnya dengan cermat agar tak terlewat. Tak heran, mereka mendapat julukan Pejuang Demokrasi. 

Namun, nasib para pejuang demokrasi ini tak mudah. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, sebanyak 57 petugas pemilu dari sejumlah kelompok antara lain Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), perlindungan masyarakat, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), meninggal per data 17 Februari 2024.

Seperti yang dialami Najmi Yafi (25 tahun), petugas KPPS dari TPS 29, Desa Teluk Wetan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara. Ia mulai menyiapkan TPS sejak Selasa (13/2) pukul 20.00 – 23.30 WIB. Setelah itu ia pulang dan kembali berangkat ke TPS untuk bertugas kembali pada 14 Februari 2024.

Itu perdana kalinya Najmi bekerja sebagai petugas KPPS. Ia mulai bekerja sejak pukul 06.00 WIB. Dan baru bisa pulang setelah pengecekan PPS di kantor balai desa, pada keesokan harinya, Kamis (15/2) pukul 08.00 WIB. Ia mengaku, tubuhnya lemas setelah bekerja mengamankan suara rakyat. 

“Ketika mulai masuk waktu Subuh, ngantuk sudah tak tertahankan. Padahal kerjaan belum selesai. Akhirnya saya memutuskan berwudhu. Tapi memang dari pihak panitia sudah menyediakan berbagai asupan untuk menunjang kesehatan seperti susu, vitamin, dan beragam camilan untuk menemani perjuangan kami,” jelasnya. 

Meski begitu, ia mengaku setiba di rumah langsung ketiduran dan baru bangun 5 jam kemudian.

“Untung saya biasa olahraga dan bergadang. Jadi sekalipun berat, Alhamdulillah masih kuat. Itu pun rasanya di tubuh pegel semua. Saya kapok. Kalau ada lagi nggak mau daftar. Sekalipun honornya menggiurkan, tapi tak sepadan dengan capeknya yang seperti kerja rodi lebih dari 24 jam,” tuturnya. 

Hal berbeda terjadi pada Faizatun Nikmah (23 tahun), salah satu anggota KPPS Pemilu 2024 yang dirawat RSUD Kartini Jepara. Ia sebelumnya bertugas di TPS 05 dengan jumlah DPT 278 Kabupaten Jepara harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami pendarahan in menstrual. Pihaknya dibawa ke rumah sakit karena kondisinya lemas akibat kadar hemoglobin yang rendah.

“Seharusnya di hari itu saya sudah berhenti masa menstruasinya, tapi malah keluar lagi dan banyak. Saking banyaknya saya sampai lemas dan akhirnya dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit diperiksa ternyata HB-nya rendah dan diminta rawat inap,” katanya saat menjelaskan kronologi kejadian.

Nikmah sapaan akrabnya menjalani rawat inap di RSUD RA Kartini Jepara sejak tanggal 15 Februari 2024 hingga saat ini, Minggu (18/2). Selama dirawat inap, ia telah diberikan transfusi darah sebanyak 2 kolf. 

“Karena dicek HB masih rendah dan darah masih keluar, oleh pihak rumah sakit saya diberikan transfusi darah, sudah 2 kantong ini. Dibantu transfusi darah ini harapannya supaya bisa lebih kuat dan segera pulih,” tambahnya.

Pada pemilu tahun 2024 ini, ia menjadi petugas dengan kesibukan yang luar biasa karena merupakan salah satu anggota yang berpengalaman terkait prosedur pemilu ini, sehingga ia kurang istirahat yang menyebabkan dirinya mengalami kelelahan.

“Di hari pemungutan suara itu kan benar-benar sibuk ya, sampai saya tidak tidur jadi rasanya capek sekali. Selesai perhitungan surat suara sampai selesai semuanya pukul 10.30 siang. Kemungkinan karena kecapekan itu akhirnya mempengaruhi menstruasi saya. Tapi saya juga tidak menyangka sampai bisa pendarahan seperti ini,” keluhnya. 

Berbeda lagi kisah dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Diduga akibat kelelahan menjaga TPS, Kanit Binmas Polsek Candisari akhirnya meninggal dunia. Suasana duka pun menyelimuti kediaman Iptu Wahyudi (58 tahun) di Jalan Jangli Tlawah, Kelurahan Karanganyar Gunung, Kecamatan Candisari Semarang, pada Minggu (18/2).

Iptu Wahyudi merupakan Kanit Binmas Polsek Candisari yang meninggal dunia saat bertugas sebagai perwira pengawas di kantor kecamatan. Kakak Ipar Iptu Wahyudi, Rohani mengatakan adik iparnya itu sedang piket pengawasan TPS di Kantor kecamatan Candisari karana ada pemungutan suara ulang. 

“Waktu itu sudah mengeluh dadanya sesak. Anak buahnya bilang sudah Ndan pulang dulu istirahat,” tuturnya.

Sekitar pukul 23.00, Iptu Wahyudi pulang ke rumah dinas yang ada di Akademi Kepolisian (AKPOL). Kondisinya tidak semakin membaik, tetapi malah menurun.

“Bahkan Wahyudi sudah sampai muntah-muntah. Dia minta istrinya untuk menelepon keluarganya di Jangli Tlawah. Setelah melihat anak dan keponakannya, Pak Wahyudi sudah tidak sadar,” jelasnya.

Menurutnya, ketika sudah tidak sadar istrinya meminta tolong tetangganya untuk mengantar Iptu Wahyudi ke rumah sakit. Penjaga suara rakyat itu pun akhirnya dinyatakan meninggal dunia 15 menit setelah tiba di rumah sakit.

Iptu Wahyudi akan purna tugas pada bulan September 2024 mendatang. Sebulan sebelumnya, ia pernah dirawat di rumah sakit Roemani karena sakit asam lambung. Selang satu bulan ia ditugaskan menjaga Pesta Demokrasi 2024. 

Petugas penjaga suara rakyat ini memang tidaklah mudah. Berkaca dari tahun lalu, Pemilu Serentak justru membuat tenaga para petugas Pemilu terforsir. 

KPU sendiri mencatat ada 3.909 yang jatuh sakit pasca-menjalankan tugas penghitungan suara. Mereka di antaranya 119 panitia pemilihan kecamatan (PPK), 596 PPS, 2.878 KPPS dan 316 petugas linmas. (NAILIN RA – LINGKAR)

Similar Posts